PERENCANAAN STRATEGIK INSTANSI PEMERINTAH
Pendahuluan
Perencanaan
strategik sangat diperlukan oleh hampir semua organisasi formal, terutama
organisasi pemerintahan. Perencanaan strategik organisasi pemerintahan
memerlukan integrasi antara keahlian sumber
daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan
lingkungan strategis, nasional dan global. Analisis terhadap lingkungan
organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting
dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness),
peluang (opportunities), dan tantangan/kendala (threats) yang
ada. Analisis terhadap unsur-unsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar
berbagai perwujudan visi dan misi serta strategi organisasi pemerintahan.
Rencana
strategik yang dihasilkan dari proses perencanaan strategik berfungsi untuk
“menuntun” manajer/pimpinan dan karyawan
organisasi dalam mencapai kinerja strategik atau untuk mencapai tujuan jangka
panjang.
Makalah ini
membahas konsep perencanaan strategik instansi pemerintah dan mencoba untuk
mengimplementasikan pada organisasi publik atau pemerintahan. Pembahasan
dimulai dari konsep dan arti pentingnya perencanaan strategik, dilanjutkan
dengan sistematika perencanaan strategik sampai dengan pengendaliannya melalui
pengukuran dan penilaian kinerja.
Pengertian Strategi dan Konsep Perencanaan Strategik
Strategi
pada hakekatnya merupakan rencana tindakan yang bersifat umum, berjangka
panjang (berorientasi ke masa depan), dan cakupannya luas. Oleh karena itu,
strategi biasanya dirumuskan dalam kalimat yang kandungan maknanya sangat umum
dan tidak merujuk pada tindakan spesifik atau rinci. Namun demikian, dalam
perencanaan strategik tidak berarti bahwa “tindakan rinci dan spesifik” yang
biasanya dirumuskan dalam suatu program kerja tidak harus disusun. Sebaliknya,
program-program kerja tersebut harus direncanakan pula dalam proses perencanaan
strategik dan bahkan harus dapat dirumuskan dan diidentifikasikan ukuran
kinerjanya. Kegagalan dalam merumuskan ukuran kinerja yang sesuai seringkali
menjadi penyebab kegagalan organisasi dalam mencapai misinya.
Perencanaan
strategik merupakan proses secara sistematis yang berkelanjutan dari pembuatan
keputusan yang beresiko, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya pengetahuan
antisipatif, mengorganisasi secara sistematis usaha-usaha melaksanakan
keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui umpan balik yang terorganisasi
dan sistematis.
Model
perencanaan strategik (strategic planning) secara umum dapat dilihat
dari contoh model yang diberikan oleh Whittaker (1993) sebagai berikut :
![]() |
||||
![]() |
||||
|
Lebih
lanjut dalam Inpres Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, menyebutkan perencanaan strategik merupakan suatu proses yang
berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai
dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang
ada dan mungkin timbul. Rencana strategik mengandung visi, misi, tujuan,
sasaran, cara mencapai tujuan dan sasaran yang memuat kebijaksanaan, program
dan kegiatan yang realistis dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
Dalam
merumuskan dan mempersiapkan perencanaan strategik, organisasi diharuskan :
1. Menentukan
visi, misi, tujuan, dan sasaran yang akan dicapai. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perencanaan strategik merupakan keputusan mendasar yang
dinyatakan secara garis besar sebagai acuan operasional kegiatan organisasi
terutama dalam pencapaian tujuan akhir organisasi.
2. Mengenali
lingkungan dimana organisasi mengimplementasikan interaksinya, terutama suasana
pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh organisasi kepada masyarakat.
3. melakukan
berbagai analisis yang bermanfaat dalam positioning organisasi dalam
percaturan memperebutkan kepercayaan pelanggan.
4. Mempersiapkan semua faktor penunjang yang diperlukan
terutama dalam mencapai keberhasilan operasional organisasi.
5. Menciptakan
sistem umpan balik untuk mengetahui efektivitas pencapaian implementasi perencanaan
strategik.
Cara
berfikir seperti ini merupakan implementasi sistem manajemen strategik yakni
suatu sistem yang dipergunakan untuk membangun masa depan suatu organisasi
dengan cara memetakan rute perjalanan yang akan ditempuh oleh organisasi tersebut
dalam mewujudkan visi (dalam mencapai misi) organisasi. Menurut Mulyadi dan
Setyawan (1999 : 307), sistem manajemen strategik meliputi enam tahap utama
yakni : (1) perumusan strategi, (2) Perencanaan strategi, (3) Penyusunan
program, (5) implementasi, dan (6) pengendalian. Sistematika ini dpat
digambarkan sebagai berikut :
![]() |
||||
![]() |
||||
|
Dari keenam
tahap tersebut, perencanaan strategik merupakan tahap yang paling penting
karena merupakan tahap awal penjabaran strategi ke dalam langkah-langkah
operasional. Dikatakan demikian, karena dalam perencanaan strategik salah
satunya harus menghasilkan rumusan misi (mission statement), yang dalam
sistem manajemen strategik hal tersebut harus merupakan pemicu (driver)
utama dalam setiap perencanaan dan implementasi program atau proyek.
Perencanaan Strategik di Era Otonomi Daerah
Diberlakukannya
Undang-Undang No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33/2004
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah tentu saja merupakan hal
yang strategik yang harus dikaji dengan penuh seksama. Dengan berlakunya kedua
Undang-Undang tersebut, paradigma manajemen pemerintahan daerah mengalami
pergeseran yang sangat drastis, dari yang sebelumnya serba paternalistik dan
sentralistik menuju ke sistem yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Dalam
situasi demikian, Pemerintah daerah dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber
daya (resources) yang ada di daerahnya masing-masing secara lebih
optimal. Dengan demikian, barangkali diperlukan adanya reformulasi strategi
melalui implementasi sistem perencanaan strategik yang lebih komprehensif dan
sistematik.
Dalam
bidang pembangunan ekonomi, permasalahan utama yang muncul pad era pemerintahan
sebelumnya adalah: (1) terpusatnya kegiatan ekonomi di daerah tertentu,
misalnya Jawa, (2) terkonsentrasinya tenaga kerja terampil di jawa, (3)
strategi pembangunan ekonomi yang mengejar “pertumbuhan pembangunan” dengan
harapan adanya “efek menetes ke bawah (trickle down effect) ternyata
gagal mencapai pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan (4)
lemahnya fungsi pengendalian (control) terhadap pelaksanaan pembangunan
ekonomi tersebut.
Bila
permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka daerah-daerah
tertentu (terutama di luar jawa) akan semakin dirugikan, karena: (1) sumberdaya
yang ada di daerah akan tersedot keluar, dan daerah akan mengalami kekurangan
tenaga kerja terampil, (2) daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor
non-primer, khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit merubah
struktur ekonominya dari yang berbasis pertnian atau pertambangan ke industri,
(3) tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah, yang berarti bahwa
perkembangan pasar output semakin lemah dan semakin kecil investasi ke daerh
tersebut (Tambunan, 2000).
Mencermati
permasalahan-permasalahan tersebut, maka menurut Arsyad (dalam
Tambunan, 2000) strategi pembangunan ekonomi daerah yang komprehensif harus
mencakup antara lain :
(1)
Pemabangunan sumberdaya manusia (sdm) dan
enterpreneurship di daerah;
(2) Pembangunan
sarana dan prasarana pembangunan ekonomi;
(3) Pemberdayaan
pemerintah daerah dan semua jajarannya;
(4) Pengembangan
sektor-sektor ekonomi potensial, termasuk pemilihan industri alternatif yang
dapat dikembangkan;
(5) Pemberdayaan
lembaga-lembaga ekonomi yang ada (seperti kadinda dan asosiasi usaha atau
himpunan pengusaha atau eksportir lokal);
(6) Alokasi
sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terbatas dengan lebih efisien dan
efektif.
Rumusan
strategi seperti itu sudah bagus dan kenyataannya hampir semua pemerintah
daerah mengadopsi strategi-strategi tersebut, meskipun rumusannya agak berbeda.
Kegagalan strategi pembangunan tersebut, nampaknya disebabkan oleh adanya
kesalahan dalam manajemennya, karena tidak dilaksankan dengan pendekatan
manajemen strategik yang secara jujur harus diakui, tidak mission driven.
Sejalan dengan bergulirnya otonomi
daerah, beberapa isu utama yang mengemuka dan harus segera direspon oleh
pemerintah daerah adalah : Pertama, paradigma ini
menempatkan rakyat (melalui wakil-wakilnya di
DPRD) sebagai mitra yang berkedudukan sejajar dalam perencanaan
pembangunan daerah, dalam artian diantara kedua institusi tidak dikenal
hubungan secara hirarki atau tidak berlaku hubungan atasan-bawahan. Dengan
demikian yang dikenal adalah hubungan koordinatif atau kerjasama, dimana
masing-masing institusi berada pada jalur tugas dan kewenangannya yang tidak
dapat saling diintervensi. Pemda tidak bisa memasuki ranah politik, dan DPRD,
tidak bisa memasuki ranah administrasi pemerintah daerah (Yudoyono, 2001 :
95-96). Hal ini tentunya menuntut hubungan yang sinergis antara pemerintah
daerah dan DPRD untuk dapat merencanakan strategi pembangunan daerahnya dengan
lebih baik dan terarah dan mengimplementasikannya secara transparan dan accountable.
Kedua,
perlu disadari bahwa otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama
sebagai jaminan terselenggaranya keteraturan sosial (sosial order) (Basri,
2000). Disini tidak dapat diperkenankan adanya pembatasan dalam mobilitas
faktor-faktor produksi. Otonomi harus memberikan peluang yang sehat bagi
persaingan antara daerah, yang tentu saja dengan dibarengi oleh “Persyaratan
minimum” bagi daerah-daerah yang belum
mampu mensejajarkan diri dalam suatu Level of Playing field.
Menurut Basri
(2000: 2-3), beberapa prasyarat yang dibutuhkan untuk menyiapkan daerah
dalam rangka persaingan global dalam kerangka otonomi daerah adalah :
(1)
Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor
produksi, barang dan jasa di dalam wilayah Indonesia, kecuali kasus-kasus yang
dilansasi oleh argumen non-ekonomi;
(2) Proses
politik yang menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan
memperjuangkan aspirasi mereka melalui partisipasi poltik dalam proses
pengambilan keputusan yang berdampak pada publik;
(3) Tegaknya
good governance baik di pusat maupun di daerah;
(4) Keterbukaan
daerah untuk bekerjasama dengan daerah-daerah lain dengan tidak memandang
batas-batas wilayah sebagai kendala;
(5) Fleksibilitas
sistem intensif;
(6) Pemerintah
daerah berperan sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok
minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar. Bukan regulator
dalam pegertian serba mengatur.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP)
Sejalan
dengan telah ditetapkannya TAP MPR RI.
Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka sebagai tindak
lanjut dari produk hukum tersebut telah diterbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 1999,
yang mengharuskan bagi setiap instansi pemerintah untuk menyusun Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahunnya. Tujuan
penyusunan laporan ini adalah untuk meningkatkan good governance pemerintah
dan sebagai bentuk perwujudan akuntabilitas publik kepada para stakeholders,
dalam hal ini adalah masyarakat dan wakil masyarakat di DPR dan DPRD.
Penerbitan LAKIP tersebut merupakan langkah maju dalam usaha mewujudkan good
governance yang pada masa sebelumnya hampir saja diabaikan orang.
Di dalam
pedoman tersebut dinyatakan bahwa dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah, perencanaan strategik merupakan langkah awal untuk pengukuran kinerja
instansi pemerintah. Ini memerlukan keahlian sumberdaya manusia yang ditunjang
dengan sumberdaya lainnya dalam menjawab tantangan global. Rencana strategis
yang disusun organisasi pemerintah harus mencakup :
(1)
Uraian tentang visi, misi, strategi, dan faktor-faktor
kunci keberhasilan organissasi;
(2) Uraian
tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi; dan
(3) Uraian
tentang tata cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut dengan memperhatikan
tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Di samping
berisi tata cara pelaporan, pedoman ini juga menyajikan bentuk pelaporan,
pengukuran kinerja, dan evaluasi terhadap implementasi program-program kerja
dan proyek dengan menggunakan ukuran kinerja sebagai berikut :
(1)
Indikator masukan (inputs), adalah segala
sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat
berupa dana, sumberdaya manusia,
informasi, kebijakan/peraturan perundangan, dan sebagainya;
(2) Indikator
keluaran (outputs), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari
suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan non-fisik;
(3) Indikator
hasil (outcomes), adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung);
(4) Indikator
manfaat (benefits), adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan;
(5) Indikator
dampak (impacts), adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun
negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan.
Dengan
menggunakan indikator-indikator tersebut, evaluasi secara periodik (setiap
tahun) dilakukan dengan membandingkan antara rencana dengan realisasinya,
sehingga dapat ditunjukan (diukur) tingkat capaian dari setiap program atau
proyek. Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan analisis pencapaian kinerja
dengan menginterpretasikan hasil pengukuran kinerja yang menggambarkan
keberhasilan/kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan misinya. Ini
mengisyaratkan bahwa seharusnya implementasi program maupun proyek (yang
disusun berdasarkan rencana strategik) harus senantiasa berorientasi pada
pencapaian misi (mission driven).
Dengan
demikian, penyusunan LAKIP tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi
sistem manajemen strategik yang diterapkan di dalam organisasi pemerintahan.
Penutup
Perencanaan
strategisk instansi pemerintah merupakan kesadaran pimpinan puncak untuk ikut
dan menentukan irama perubahan sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Dengan
dirumuskannya perencanaan strategik, instansi pemerintah telah mengatur arah
perkembangan organisasi untuk meraih keberhasilan di masa mendatang dengan Recognized
dan responsed oleh semua stakeholdernya.
Perncanaan
strategik akan dapat berhasil dengan baik apabila terdapat komitmen penuh dari
pimpinan puncak melalui proses yang saling berkomunikasi dengan baik yakni top-down
dan bottom-up approach.
Dengan
penentuan visi, misi, memahami faktor-faktor kunci keberhasilan sebagai
manifestasi respons organisasi terhadap kondisi lingkungan baik internal maupun
eksternal, instansi pemerintah telah menetapkan arah yang akan dituju olehnya.
Penyusunan
perencanaan strategik membutuhkan perhatian yang sangat serius dari seluruh
komponen organisasi pemerintah baik di pusat maupun didaerah terutama dalam era
otonomi daerah agar dapat diimplementasikan dengan baik sesuai dengan apa yang
telah ditetapkan. Memperhatikan GBHN dan kebijaksanaan strategik nasional
adalah salah satu prasyarat yang harus dipenuhi dalam penyusunan perencanaan
strategik.
Daftar Pustaka
Basri, Faisal H, (2000), Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah,
Makalah disampaikan Pada Seminar Nasional Strategi Bisnis Menghadapi Otonomi
Daerah, diselenggarakan oleh Forum Dewan PWI Malang, 3 Juni.
Mulyadi dan Johny Setyawan (1999), Sistem Perencanaan dan
Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media.
Nawawi,
Hadari H, (2000), Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syaukani H,
Afan Gafar, Ryaas Rasyid, (2002), Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tambunan, Tulus, (2000), Langkah-Langkah Strategis Untuk
Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah, Makalah disampaikan pada kongres
ISEI XIV, Makassar: 21-23 April
Whittaker JB, The Government Performance and result act of 1993,
Washington DC. GAO, 1996
Yudoyono, Bambang, (2001), “Otonomi Daerah” - Desentralisasi dan
Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sumber – Sumber Lain
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
Modul Sosialisasi
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), (2000), Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara.
Nurkholis,
(2001), Makalah Perencanaan Stratejik Organisasi Pemerintahan Dengan Pendekatan Balanced
Scorecard, Website: www.fe.unibraw.ac.id/lintek/vol-VIII-1.