Jumat, 27 Juni 2014

PERENCANAAN STRATEGIK INSTANSI PEMERINTAH



PERENCANAAN STRATEGIK INSTANSI PEMERINTAH


Pendahuluan


          Perencanaan strategik sangat diperlukan oleh hampir semua organisasi formal, terutama organisasi pemerintahan. Perencanaan strategik organisasi pemerintahan memerlukan  integrasi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategis, nasional dan global. Analisis terhadap lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan tantangan/kendala (threats) yang ada. Analisis terhadap unsur-unsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar berbagai perwujudan visi dan misi serta strategi organisasi pemerintahan.
          Rencana strategik yang dihasilkan dari proses perencanaan strategik berfungsi untuk “menuntun” manajer/pimpinan  dan karyawan organisasi dalam mencapai kinerja strategik atau untuk mencapai tujuan jangka panjang.
          Makalah ini membahas konsep perencanaan strategik instansi pemerintah dan mencoba untuk mengimplementasikan pada organisasi publik atau pemerintahan. Pembahasan dimulai dari konsep dan arti pentingnya perencanaan strategik, dilanjutkan dengan sistematika perencanaan strategik sampai dengan pengendaliannya melalui pengukuran dan penilaian kinerja.
Pengertian Strategi dan Konsep Perencanaan Strategik
          Strategi pada hakekatnya merupakan rencana tindakan yang bersifat umum, berjangka panjang (berorientasi ke masa depan), dan cakupannya luas. Oleh karena itu, strategi biasanya dirumuskan dalam kalimat yang kandungan maknanya sangat umum dan tidak merujuk pada tindakan spesifik atau rinci. Namun demikian, dalam perencanaan strategik tidak berarti bahwa “tindakan rinci dan spesifik” yang biasanya dirumuskan dalam suatu program kerja tidak harus disusun. Sebaliknya, program-program kerja tersebut harus direncanakan pula dalam proses perencanaan strategik dan bahkan harus dapat dirumuskan dan diidentifikasikan ukuran kinerjanya. Kegagalan dalam merumuskan ukuran kinerja yang sesuai seringkali menjadi penyebab kegagalan organisasi dalam mencapai misinya.
          Perencanaan strategik merupakan proses secara sistematis yang berkelanjutan dari pembuatan keputusan yang beresiko, dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya pengetahuan antisipatif, mengorganisasi secara sistematis usaha-usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui umpan balik yang terorganisasi dan sistematis.
          Model perencanaan strategik (strategic planning) secara umum dapat dilihat dari contoh model yang diberikan oleh Whittaker (1993) sebagai berikut :












Gambar Model Perencanaan Strategik (Whittaker, 1993)
 
 










         
          Lebih lanjut dalam Inpres Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, menyebutkan perencanaan strategik merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada dan mungkin timbul. Rencana strategik mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan sasaran yang memuat kebijaksanaan, program dan kegiatan yang realistis dengan mengantisipasi perkembangan masa depan.
          Dalam merumuskan dan mempersiapkan perencanaan strategik, organisasi diharuskan :
1.     Menentukan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang akan dicapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perencanaan strategik merupakan keputusan mendasar yang dinyatakan secara garis besar sebagai acuan operasional kegiatan organisasi terutama dalam pencapaian tujuan akhir organisasi.
2.    Mengenali lingkungan dimana organisasi mengimplementasikan interaksinya, terutama suasana pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh organisasi kepada masyarakat.
3.    melakukan berbagai analisis yang bermanfaat dalam positioning organisasi dalam percaturan memperebutkan kepercayaan pelanggan.
4.    Mempersiapkan  semua faktor penunjang yang diperlukan terutama dalam mencapai keberhasilan operasional organisasi.
5.    Menciptakan sistem umpan balik untuk mengetahui efektivitas pencapaian implementasi perencanaan strategik.
          Cara berfikir seperti ini merupakan implementasi sistem manajemen strategik yakni suatu sistem yang dipergunakan untuk membangun masa depan suatu organisasi dengan cara memetakan rute perjalanan yang akan ditempuh oleh organisasi tersebut dalam mewujudkan visi (dalam mencapai misi) organisasi. Menurut Mulyadi dan Setyawan (1999 : 307), sistem manajemen strategik meliputi enam tahap utama yakni : (1) perumusan strategi, (2) Perencanaan strategi, (3) Penyusunan program, (5) implementasi, dan (6) pengendalian. Sistematika ini dpat digambarkan sebagai berikut :











 Gambar. Sistem Manajemen Strategik (Mulyadi & Setyawan, 1999 :308)
 
 












         
          Dari keenam tahap tersebut, perencanaan strategik merupakan tahap yang paling penting karena merupakan tahap awal penjabaran strategi ke dalam langkah-langkah operasional. Dikatakan demikian, karena dalam perencanaan strategik salah satunya harus menghasilkan rumusan misi (mission statement), yang dalam sistem manajemen strategik hal tersebut harus merupakan pemicu (driver) utama dalam setiap perencanaan dan implementasi program atau proyek.

Perencanaan Strategik di Era Otonomi Daerah
       Diberlakukannya Undang-Undang No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah tentu saja merupakan hal yang strategik yang harus dikaji dengan penuh seksama. Dengan berlakunya kedua Undang-Undang tersebut, paradigma manajemen pemerintahan daerah mengalami pergeseran yang sangat drastis, dari yang sebelumnya serba paternalistik dan sentralistik menuju ke sistem yang bersifat kemitraan dan desentralistik. Dalam situasi demikian, Pemerintah daerah dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya (resources) yang ada di daerahnya masing-masing secara lebih optimal. Dengan demikian, barangkali diperlukan adanya reformulasi strategi melalui implementasi sistem perencanaan strategik yang lebih komprehensif dan sistematik.
          Dalam bidang pembangunan ekonomi, permasalahan utama yang muncul pad era pemerintahan sebelumnya adalah: (1) terpusatnya kegiatan ekonomi di daerah tertentu, misalnya Jawa, (2) terkonsentrasinya tenaga kerja terampil di jawa, (3) strategi pembangunan ekonomi yang mengejar “pertumbuhan pembangunan” dengan harapan adanya “efek menetes ke bawah (trickle down effect) ternyata gagal mencapai pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan (4) lemahnya fungsi pengendalian (control) terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut.
          Bila permasalahan-permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka daerah-daerah tertentu (terutama di luar jawa) akan semakin dirugikan, karena: (1) sumberdaya yang ada di daerah akan tersedot keluar, dan daerah akan mengalami kekurangan tenaga kerja terampil, (2) daerah akan semakin sulit mengembangkan sektor non-primer, khususnya industri manufaktur, atau akan semakin sulit merubah struktur ekonominya dari yang berbasis pertnian atau pertambangan ke industri, (3) tingkat pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah, yang berarti bahwa perkembangan pasar output semakin lemah dan semakin kecil investasi ke daerh tersebut (Tambunan, 2000).
          Mencermati permasalahan-permasalahan tersebut, maka menurut Arsyad (dalam Tambunan, 2000) strategi pembangunan ekonomi daerah yang komprehensif harus mencakup antara lain :
(1)      Pemabangunan sumberdaya manusia (sdm) dan enterpreneurship di daerah;
(2)     Pembangunan sarana dan prasarana pembangunan ekonomi;
(3)     Pemberdayaan pemerintah daerah dan semua jajarannya;
(4)     Pengembangan sektor-sektor ekonomi potensial, termasuk pemilihan industri alternatif yang dapat dikembangkan;
(5)     Pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi yang ada (seperti kadinda dan asosiasi usaha atau himpunan pengusaha atau eksportir lokal);
(6)     Alokasi sumberdaya-sumberdaya pembangunan yang terbatas dengan lebih efisien dan efektif.
Rumusan strategi seperti itu sudah bagus dan kenyataannya hampir semua pemerintah daerah mengadopsi strategi-strategi tersebut, meskipun rumusannya agak berbeda. Kegagalan strategi pembangunan tersebut, nampaknya disebabkan oleh adanya kesalahan dalam manajemennya, karena tidak dilaksankan dengan pendekatan manajemen strategik yang secara jujur harus diakui, tidak mission driven.  
      Sejalan dengan bergulirnya otonomi daerah, beberapa isu utama yang mengemuka dan harus segera direspon oleh pemerintah daerah adalah : Pertama, paradigma ini menempatkan rakyat (melalui wakil-wakilnya di  DPRD) sebagai mitra yang berkedudukan sejajar dalam perencanaan pembangunan daerah, dalam artian diantara kedua institusi tidak dikenal hubungan secara hirarki atau tidak berlaku hubungan atasan-bawahan. Dengan demikian yang dikenal adalah hubungan koordinatif atau kerjasama, dimana masing-masing institusi berada pada jalur tugas dan kewenangannya yang tidak dapat saling diintervensi. Pemda tidak bisa memasuki ranah politik, dan DPRD, tidak bisa memasuki ranah administrasi pemerintah daerah (Yudoyono, 2001 : 95-96). Hal ini tentunya menuntut hubungan yang sinergis antara pemerintah daerah dan DPRD untuk dapat merencanakan strategi pembangunan daerahnya dengan lebih baik dan terarah dan mengimplementasikannya secara transparan  dan accountable.
          Kedua, perlu disadari bahwa otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya keteraturan sosial (sosial order) (Basri, 2000). Disini tidak dapat diperkenankan adanya pembatasan dalam mobilitas faktor-faktor produksi. Otonomi harus memberikan peluang yang sehat bagi persaingan antara daerah, yang tentu saja dengan dibarengi oleh “Persyaratan minimum”  bagi daerah-daerah yang belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu Level of Playing field.
          Menurut Basri (2000: 2-3), beberapa prasyarat yang dibutuhkan untuk menyiapkan daerah dalam rangka persaingan global dalam kerangka otonomi daerah adalah :
(1)      Terjaminnya pergerakan bebas dari seluruh faktor produksi, barang dan jasa di dalam wilayah Indonesia, kecuali kasus-kasus yang dilansasi oleh argumen non-ekonomi;
(2)     Proses politik yang menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan memperjuangkan aspirasi mereka melalui partisipasi poltik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada publik;
(3)     Tegaknya good governance baik di pusat maupun di daerah;
(4)     Keterbukaan daerah untuk bekerjasama dengan daerah-daerah lain dengan tidak memandang batas-batas wilayah sebagai kendala;
(5)     Fleksibilitas sistem intensif;
(6)     Pemerintah daerah berperan sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar. Bukan regulator dalam pegertian serba mengatur.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
          Sejalan dengan telah ditetapkannya  TAP MPR RI. Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka sebagai tindak lanjut dari produk hukum tersebut telah diterbitkan Inpres Nomor 7 Tahun 1999, yang mengharuskan bagi setiap instansi pemerintah untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahunnya. Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk meningkatkan good governance pemerintah dan sebagai bentuk perwujudan akuntabilitas publik kepada para stakeholders, dalam hal ini adalah masyarakat dan wakil masyarakat di DPR dan DPRD. Penerbitan LAKIP tersebut merupakan langkah maju dalam usaha mewujudkan good governance yang pada masa sebelumnya hampir saja diabaikan orang.   
          Di dalam pedoman tersebut dinyatakan bahwa dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan strategik merupakan langkah awal untuk pengukuran kinerja instansi pemerintah. Ini memerlukan keahlian sumberdaya manusia yang ditunjang dengan sumberdaya lainnya dalam menjawab tantangan global. Rencana strategis yang disusun organisasi pemerintah harus mencakup :
(1)      Uraian tentang visi, misi, strategi, dan faktor-faktor kunci keberhasilan organissasi;
(2)     Uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi; dan
(3)     Uraian tentang tata cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
Di samping berisi tata cara pelaporan, pedoman ini juga menyajikan bentuk pelaporan, pengukuran kinerja, dan evaluasi terhadap implementasi program-program kerja dan proyek dengan menggunakan ukuran kinerja sebagai berikut :
(1)      Indikator masukan (inputs), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat  berupa dana, sumberdaya  manusia, informasi, kebijakan/peraturan perundangan, dan sebagainya;
(2)     Indikator keluaran (outputs), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan non-fisik;
(3)     Indikator hasil (outcomes), adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung);
(4)     Indikator manfaat (benefits), adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan;
(5)     Indikator dampak (impacts), adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, evaluasi secara periodik (setiap tahun) dilakukan dengan membandingkan antara rencana dengan realisasinya, sehingga dapat ditunjukan (diukur) tingkat capaian dari setiap program atau proyek. Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan analisis pencapaian kinerja dengan menginterpretasikan hasil pengukuran kinerja yang menggambarkan keberhasilan/kegagalan instansi pemerintah dalam melaksanakan misinya. Ini mengisyaratkan bahwa seharusnya implementasi program maupun proyek (yang disusun berdasarkan rencana strategik) harus senantiasa berorientasi pada pencapaian misi (mission driven).
Dengan demikian, penyusunan LAKIP tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi sistem manajemen strategik yang diterapkan di dalam organisasi pemerintahan.
Penutup
Perencanaan strategisk instansi pemerintah merupakan kesadaran pimpinan puncak untuk ikut dan menentukan irama perubahan sesuai dengan tuntutan yang berkembang. Dengan dirumuskannya perencanaan strategik, instansi pemerintah telah mengatur arah perkembangan organisasi untuk meraih keberhasilan di masa mendatang dengan Recognized dan responsed  oleh semua stakeholdernya.
Perncanaan strategik akan dapat berhasil dengan baik apabila terdapat komitmen penuh dari pimpinan puncak melalui proses yang saling berkomunikasi dengan baik yakni top-down dan bottom-up approach.
Dengan penentuan visi, misi, memahami faktor-faktor kunci keberhasilan sebagai manifestasi respons organisasi terhadap kondisi lingkungan baik internal maupun eksternal, instansi pemerintah telah menetapkan arah yang akan dituju olehnya.
Penyusunan perencanaan strategik membutuhkan perhatian yang sangat serius dari seluruh komponen organisasi pemerintah baik di pusat maupun didaerah terutama dalam era otonomi daerah agar dapat diimplementasikan dengan baik sesuai dengan apa yang telah ditetapkan. Memperhatikan GBHN dan kebijaksanaan strategik nasional adalah salah satu prasyarat yang harus dipenuhi dalam penyusunan perencanaan strategik.

Daftar Pustaka
Basri, Faisal H, (2000), Tantangan dan Peluang Otonomi Daerah, Makalah disampaikan Pada Seminar Nasional Strategi Bisnis Menghadapi Otonomi Daerah, diselenggarakan oleh Forum Dewan PWI Malang,    3 Juni.
Mulyadi dan Johny Setyawan (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media.
Nawawi, Hadari H, (2000), Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syaukani H, Afan Gafar, Ryaas Rasyid, (2002), Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tambunan, Tulus, (2000), Langkah-Langkah Strategis Untuk Meningkatkan Daya Saing Ekonomi Daerah, Makalah disampaikan pada kongres ISEI XIV, Makassar: 21-23 April
Whittaker JB, The Government Performance and result act of 1993, Washington DC. GAO, 1996
Yudoyono, Bambang, (2001), “Otonomi Daerah” - Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Sumber – Sumber Lain
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), (2000), Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Nurkholis, (2001), Makalah Perencanaan Stratejik Organisasi  Pemerintahan Dengan Pendekatan Balanced Scorecard, Website: www.fe.unibraw.ac.id/lintek/vol-VIII-1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar